Proses pembukuan hadis atau Warta Nabi merupakan tonggak penting dalam peradaban Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis sebagian besar masih berupa hafalan dan catatan personal para sahabat. Namun, untuk menjaga keotentikan ajaran, diperlukan Sejarah Pengarsipan yang sistematis dan terstruktur agar hadis tidak hilang atau tercampur.
Awal Sejarah Pengarsipan hadis dimulai pada masa para sahabat. Meskipun awalnya ada larangan mencatat selain Al-Qur’an, beberapa sahabat utama seperti Abdullah bin Amr bin al-‘As diizinkan membuat catatan pribadi yang dikenal sebagai Ash-Shahifah Ash-Shadiqah. Catatan ini merupakan cikal bakal kodifikasi hadis.
Masa pasca-Nabi, terutama pada masa tabiin, muncul tantangan besar. Meluasnya wilayah Islam dan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu’) mengancam kemurnian ajaran. Kondisi ini mempercepat kebutuhan akan Sejarah Pengarsipan yang terpusat dan terotorisasi.
Titik balik kodifikasi hadis terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (abad ke-8 M). Beliau secara resmi memerintahkan ulama terkemuka, terutama di Hijaz, untuk mengumpulkan semua hadis yang tersebar. Perintah ini menjadi inisiatif negara pertama untuk mengamankan khazanah kenabian.
Tokoh sentral dalam kodifikasi awal adalah Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Berdasarkan perintah khalifah, beliau dan ulama lainnya mulai mengumpulkan hadis dari berbagai sumber, memisahkan ucapan Nabi dari fatwa sahabat, dan menyusunnya dalam bentuk kitab.
Proses penyusunan terus berlanjut hingga abad ke-9 Masehi, melahirkan karya-karya monumental. Di antara metode yang paling ketat dan diterima adalah yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Mereka menetapkan kriteria seleksi hadis yang sangat ketat, dikenal sebagai ilmu Musthalah Hadits.
Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim mewakili puncak Sejarah Pengarsipan hadis. Kedua ulama ini melakukan perjalanan jauh, memverifikasi sanad (rantai periwayat), dan matan (isi hadis) untuk memastikan keasliannya sebelum dicatat dan dibukukan secara permanen.
Pencapaian Sejarah Pengarsipan dan kodifikasi ini memastikan bahwa ajaran Islam, yang mencakup Al-Qur’an dan Sunnah, tetap murni dan dapat diakses oleh generasi berikutnya. Proses yang panjang dan metodis ini merupakan warisan intelektual luar biasa bagi umat.