Pragmatisme sebagai aliran filsafat menekankan bahwa kebenaran suatu gagasan diukur dari kemanfaatannya dan konsekuensinya. Dalam konteks hukum Islam, pendekatan ini tidak berarti mengabaikan wahyu, melainkan menyoroti bagaimana kebenaran yang diwahyukan selalu berujung pada kemaslahatan (kebaikan universal) dan menolak mafsadat (kerusakan) bagi umat manusia.
Ini adalah dimensi filosofis yang penting dalam memahami tujuan syariat (maqasid syariah). Hukum Islam tidak hanya ada untuk dipatuhi secara formal, tetapi juga untuk mencapai manfaat nyata dan mencegah kerugian dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Oleh karena itu, meskipun wahyu adalah sumber kebenaran mutlak, interpretasi dan penerapannya dalam fikih seringkali mempertimbangkan dampak praktisnya. Ini adalah bentuk Pragmatisme yang berlandaskan pada tujuan ilahi, bukan relativisme yang kosong dari nilai.
Dalam proses ijtihad, ketika menghadapi kasus-kasus baru yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash, para ulama kerap merujuk pada prinsip kemaslahatan. Hukum yang dihasilkan haruslah membawa manfaat yang lebih besar dan konsisten dengan tujuan syariah.
Misalnya, penetapan fatwa mengenai transaksi keuangan modern yang tidak ada di zaman Nabi. Meskipun tidak ada nash eksplisit, prinsip Pragmatisme yang dilandasi kemaslahatan dan pencegahan kerugian (sesuai syariat) akan membimbing para ulama.
Ini menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan adaptif. Ia mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang pada kebenaran wahyu, sekaligus memperhatikan kebermanfaatan dan dampak praktis dari setiap putusan hukum.
Pendekatan ini menjamin bahwa hukum Islam relevan dan fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekadar teori, melainkan panduan praktis yang bertujuan untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan sejahtera.
Pragmatisme dalam hukum Islam juga berarti menyeimbangkan antara idealisme syar’i dan realitas praktis. Terkadang, demi kemaslahatan yang lebih besar, ada ruang untuk keringanan (rukhsah) atau pilihan yang lebih sesuai dengan kondisi riil tanpa melanggar prinsip dasar.
Singkatnya, Pragmatisme dalam hukum Islam bukanlah penolakan terhadap kebenaran wahyu, melainkan pemahaman bahwa kebenaran ilahi selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia. Ini adalah pendekatan filosofis yang menekankan relevansi dan fungsionalitas syariat.