Menjadi Haafizh dan Faahim: Tantangan Menguasai Hafalan Sekaligus Pemahaman Makna Al-Qur’an

Tujuan tertinggi pembelajaran Al-Qur’an di pesantren modern tidak hanya sebatas menghafal (menjadi Haafizh), tetapi juga memahami maknanya (menjadi Faahim). Menjadi Haafizh dan Faahim adalah tantangan ganda yang membutuhkan strategi pembelajaran terpadu antara Tahfidz yang intensif dan Tafsir atau Dirasah Islamiyah yang mendalam. Menjadi Haafizh dan Faahim ini merupakan upaya mencetak generasi ulama yang tidak hanya memiliki teks suci di dada, tetapi juga mampu mengimplementasikan ajarannya dalam kehidupan. Menjadi Haafizh dan Faahim membutuhkan koordinasi sempurna antara fokus memori dan nalar interpretasi.

Tantangan utama dalam Menjadi Haafizh dan Faahim adalah manajemen waktu dan fokus yang terbagi. Hafalan membutuhkan repetisi yang konstan dan daya ingat yang kuat, seringkali menuntut konsentrasi mekanis. Sementara itu, pemahaman makna (Tafsir, Asbabun Nuzul, dan Munāsabah ayat) membutuhkan daya analisis, kritis, dan pemikiran yang mendalam. Santri harus mampu beralih dari mode muroja’ah yang berfokus pada keakuratan teks, ke mode tadabbur yang berfokus pada konteks dan aplikasi makna.

Pesantren menyiasati tantangan ini dengan strategi integrasi kurikulum. Program Tahfidz (hafalan) dilakukan intensif pada jam-jam utama (sebelum Subuh dan setelah Maghrib), sementara pelajaran pemahaman makna (Tafsir dan Bahasa Arab/Nahwu-Sharaf) diintegrasikan ke dalam Kurikulum Nasional formal pada siang hari. Pembelajaran ilmu alat seperti Nahwu dan Sharaf wajib dikuasai melalui metode Sorogan agar santri dapat membuka pemahaman makna sendiri. Sebagai contoh, di Pondok Pesantren Tahfidz Integrasi, santri diwajibkan menyelesaikan hafalan Matan Jurumiyah (Kitab Nahwu) sebelum mereka diizinkan memasuki kelas Tafsir Juz ‘Amma, memastikan mereka memiliki landasan bahasa yang memadai untuk memahami makna.

Komitmen Kyai dalam menjaga kualitas ganda ini sangat krusial. Dalam rapat evaluasi program Tahfidz yang diselenggarakan pada hari Selasa, 24 September 2024, Kyai menekankan bahwa muhafizh harus mendorong santri untuk sering membaca terjemahan setelah mereka lancar dalam setoran hafalan, demi menumbuhkan koneksi antara teks dan makna. Dengan demikian, pesantren tidak hanya berpuas diri dengan jumlah santri yang hafal 30 juz, tetapi juga berjuang keras melalui kurikulum yang terintegrasi dan bimbingan yang konsisten untuk memastikan bahwa setiap santri adalah Haafizh yang sekaligus Faahim terhadap Kitabullah.