Bukan Hanya Hafal: Belajar Musyawarah Santri untuk Mendalami dan Menganalisis Ilmu Agama

Di lingkungan pesantren, pendidikan agama Islam tidak berhenti pada hafalan teks Kitab Kuning; ia harus dilanjutkan ke tahap pemahaman, analisis, dan kontekstualisasi. Keterampilan ini diasah melalui tradisi intelektual yang disebut Musyawarah atau diskusi ilmiah. Melalui Belajar Musyawarah, santri didorong untuk mengkritisi, memperdebatkan, dan menganalisis secara mendalam berbagai masalah keagamaan (furu’iyyah) berdasarkan referensi kitab-kitab klasik yang telah mereka pelajari. Belajar Musyawarah menjadi jembatan yang mengubah santri dari sekadar penghafal menjadi pemikir Islam yang kritis dan rasional. Kemampuan ini sangat penting untuk menyiapkan mereka menjadi ulama yang adaptif terhadap tantangan zaman.

Musyawarah di pesantren biasanya diatur dengan formalitas layaknya forum ilmiah. Kegiatan ini sering dijadwalkan secara rutin, misalnya setiap malam Sabtu atau dua kali seminggu setelah Shalat Isya. Peserta akan duduk melingkar, dengan seorang moderator, notulen, dan seorang mushawwir (pemapar masalah). Salah satu santri akan mengajukan masalah fikih atau ushul yang kompleks (misalnya, hukum penggunaan mata uang kripto dalam pandangan Islam), dan santri lain akan memberikan pandangan mereka yang harus didukung dengan dalil dan referensi dari Kitab Kuning yang valid.

Pentingnya Belajar Musyawarah terletak pada pengembangan beberapa keterampilan utama:

  1. Analisis Mendalam: Musyawarah memaksa santri untuk tidak hanya mengetahui isi kitab, tetapi juga memahami metodologi (manhaj) yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum. Ini menghilangkan pemahaman yang dangkal.
  2. Keterampilan Berargumen: Santri dilatih untuk menyampaikan argumen secara jelas, lugas, dan logis, serta mampu mempertahankan pendapat mereka dengan referensi yang akurat. Ini adalah latihan penting untuk menjadi faqih (ahli fikih).
  3. Penguasaan Referensi: Santri dituntut untuk menguasai nama kitab, pengarangnya, hingga letak halaman dari referensi yang mereka gunakan, yang secara otomatis menguatkan ingatan mereka terhadap literatur Islam klasik.

Sebagai contoh spesifik, Lajnah Musyawarah Pondok Pesantren Al-Hidayah mewajibkan setiap santri tingkat akhir untuk mempresentasikan minimal lima masalah yang bersifat khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam kurun waktu satu semester. Hasil keputusan musyawarah seringkali dibukukan sebagai materi referensi internal. Dengan disiplin dalam Belajar Musyawarah ini, pesantren berhasil mencetak lulusan yang tidak hanya berpegang teguh pada tradisi, tetapi juga mampu mengambil keputusan keagamaan berdasarkan pemahaman yang komprehensif dan matang.